Berada di Desa Lihung, Kecamatan Karang Intan, pusara raja kelima Kesultanan Banjar ini dikeramatkan. Sejumlah kejadian diluar nalar pernah terjadi.
Oleh: Rudiyanto
Sudah beberapa hari ratusan warga yang tinggal di sepanjang Sungai Terusan Riam Kanan bersiaga. Mereka berjaga-jaga siang malam jika tiba-tiba air sungai meluap. Pasalnya keretakan pada dinding bendungangan PLTA Riam Kanan semakin parah. Isu jebolnya bendungan kian membuat warga gusar. Begitu pula dengan Zaelani (63) dan ratusan warga di Desa Lihung, Kecamatan Karang Intan, Kabupaten Banjar.
Ketakutan Zaelani dan warga desa sangat beralasan. Jika bendungan jebol maka desa mereka menjadi salah satu yang terparah oleh terjangan air. Sementara di tengah ketakutan warga, ketinggian air sungai semakin hari semakin bertambah. Itu terjadi karena dilakukan pengurangan debit air di Bendungan PLTA Riam Kanan untuk menghindari dampak terburuk jebolnya bendungan.
Namun semakin lama keretakan pada dinding bendungan semakin besar. Pengurangan debet air secara besar-besar pun menjadi satu-satunya pemecahan yang harus dilakukan. Hingga pada suatu malam, musibah banjir bandang dari luapan air bendungan pun tak terhindarkan. Kedalaman dan lebarnya sungai tak lagi cukup mengantarkan air hingga ke muara laut dan meluap menenggelamkan beberapa banyak desa di beberapa wilayah kecamatan yang ada di Kabupaten Banjar.
Di tengah kegelapan malam, ratusan warga di Kecamatan Karang Intan gaduh. Mereka berbondong menyelamatankan diri dan harta benda, mencari dataran tinggi yang dapat dijadikan tempat mengungsi. Hampir semua desa di wilayah Kecamatan Karang Intan yang berada tak jauh dari bantaran sungai tak dapat menghindar dari luapan air sungai, dan terendan dengan ketinggian yang bervariasi. “Puskesmas dan kantor kecamatan terendam hingga menyentuh jendela bangunan,” kata Zaelani beberapa waktu lalu.
Meski air meluap dan meneneggelam hampir seluruh wilayah Kecamatan Karang intan, tapi luapan air tidak sampai meneyentuh apalagi menenggelamkan Desa Lihung, tempat Zaelani tinggal. “Jika kantor kecamatan terendam, seharusnya Lihung juga tenggelam karena posisinya tidak lebih tinggi dari pusat kecamatan. Lihung selamat dari banjir yang terjadi pada tahun 2006 itu,” kata Zaelani
Zaelani dan warga Lihung lainnya percaya, selamatnya desa mereka dari musibah banjir karena Sultan Sulaiman, salah satu Sultan Kesultanan Banjar diamkamkan di sana. Selain sebagai Sultan, semasa hidupnya Sultan Sulaiman adalah orang alim. Tak heran Zaelani dan warga desa percaya dengan keramat dari makam Sultan Sulaiman.
Tak hanya sekali itu Desa Lihung selamat dari terjangan air. Pada tahun 1961 musibah serupa juga pernah terjadi. Bahkan jauh lebih dahsyat. Saat banjir terjadi, setengah dari wilayah Kabupaten Banjar yang berada sekitar bantaran sungai tenggelam. Begitu pula dengan kota Martapura juga tenggelam. Warga mengingatnya sebagai Banjir Kuning.
Zaelani yang kala itu sudah berumur 12 tahun, benar-benar merekam kejadian luar biasa itu dalam benaknya. Air meluap hingga ketinggian lebih dari tiga meter. Tapi, kata Zaelani, ada semacam kekuatan yang kasat mata menahan air masuk ke Desa Lihung. Zaelani menggambarkan, seperti ada siring pembatas yang melindungi air tidak sampai menengggelamkan Desa Lihung. “Selain makam Sulaiman, ada banyak makam keramat di Desa Lihung ini. Pedatuan Almarhun Guru Sekumpul juga dimakan di sini,” kata Zaelani.
Pernah Ada yang Coba-coba
Sebagai makam yang dikeramatkan, tak jarang kejadian-kejadian di luar akal normal manusia terjadi di sekitar Makam Sultan Sulaiman. Menurut Zaelani, dahulu setiap orang yang melewati makam menggukanan sepeda pasti turun dan menuntun sepedanya. Karena jika tetap melintas di samping makam dengan bersepeda, bisa dipastikan akan jatuh terjungkal.
Pernah suatu saat, kata Zaelani, seseorang mungkin tidak percaya atau sekadar menguji keramat itu dengan tetap mengendari sepeda melintas di samping makam. Dan benar, tanpa sebab musabab, penegendara sepeda itu itu jatuh tersungkur. Kejadian jatuhnya pengendara sepeda saat melintas di Makam Sultan Sulamain itu, kata Zaelani sudah sering sekali terjadi. “Kejadian itu masih sering terjadi di bawah tahun 1960-an. Setelah era tahun 1960-an tidak lagi terjadi,” kata Zaelani.
Ada juga hal ganjil lain yang lazim terjadi, dan warga percaya itu juga bagian dari keramat Makam Sultan Sulaiman. Menurut Zaelani, jika ada warga yang hilang atau mati teggelam di daerah hulu atau atau di sekitar bendungan PLTA Riam Kanan. Pasti mayatnya di temukan di aliran sungai di Desa Lihung ini. Dan itu tidak pernah melewati makam Sultan Sulaiman. “Sekarang sudah sangat jarang terjadi kejadian-kejadian tak wajar seperti dulu. Padahal dulu setiap orang yang melintas pasti berhenti sejenak dan mengucapkan salam sebelum melewati makam,” ujar Zaelani. (MIRIS)