Kuburan Jepang, Antara Tentara Nippon dan Petinggi Perusahaan Dimakamkan
Oleh: Rudiyanto
PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIII Kebun Danau Salak di Kecamatan Mataraman, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan merupakan perkebunan tua peninggalan Kolonial Belanda. Pengelolaan perkebunan dengan komoditi utama karet yang kini berganti sawit ini, juga temurun saat negeri ini dijajah Jepang.
Salah satu bukti sejarah yang masih ada di perkebunan karet milik perusahaan plat merah warisan penjajah ini adalah sebuah komplek pemakaman tua di Afdeling II Gunung Mas. Warga sekitar menyebutnya Kuburan Jepang.
Di kelilingi tembok setinggi sekitar dua meter, empat nisan kubur berukuran cukup besar terlihat menyembul kokoh di antara belukar yang tumbuh subur. Di keempat nisan yang terbuat dari cor semen itu tertulis aksara dalam bahasa Jepang. Di antara empat nisan itu, juga terlihat dua penanda kubur lain terbuat dari bilah kayu ulin yang tampak mulai lapuk dimakan usia.
Sebuah papan nama bertuliskan ‘Dipugar Tanggal 1 Desember 1992 oleh Bank Perdania Jakarta’ tertempel di tembok bagian depan yang juga mernjadi pintu masuk areal makam berpagar tembok itu. ‘Kuburan Jepang’ begitu warga yang juga berprofesi sebagai buruh sadap karet di Afdeling 2 Gunung Mas, Kebun Selatan milik PTPN 13 Danau Salak ini menyebutnya.
Sayangnya, tak banyak catatan sejarah yang menjelaskan ihwal keberadaan komplek pemakaman bangsa Nippon tersebut. Tidak juga dari sang empunya perkebunan, PTPN 13 Danau Salak. Hanya sekelumit kisah yang terus temurun di tengah warga.
Cerita yang terkumpul dari warga sekitar, Komplek Kuburan Jepang tersebut dipercaya merupakan tempat dimakamnya beberapa petinggi tentara Jepang yang tewas dalam baku tembak dengan para pejuang. Ini saat Nipon menduduki Indonesia setelah masa penjajahan Belanda.
Versi lain tentang Kuburan Jepang terlontar dari Suyatno, salah seorang warga yang juga pensiunan karyawan PTPN 13 Danau Salak. Dikisahkannya, dari cerita turun temurun yang pernah ia dengar, yang dikuburkan di Komplek Kuburan Jepang adalah para pimpinan perusahaan yang mengendalikan jalannya roda perusahaan yang diambilalih Jepang dari Belanda.
Menurut Suyatno, di waktu-waktu tertentu, semisal perayaan hari besar keagamaan, ada saja yang datang menziarahi makam. Dari fisiknya, yang datang tampak seperti orang Jepang dan warga keturunan. (www.mikirkritis.com)