Di Atas Batu Pertapaan Pangeran Suryanata

Oleh: Rudiyanto

Berbekal sebuah senter, Ramelan, Ponidi, Agus, dan Amat berjalan membelah pekatnya malam. Tak lama menyisir jalanan yang belum beraspal, ke empat orang warga Desa Sungai Arfat RT 4, Kecamatan Karang Intan itu mulai memasuki jalanan setapak. Sebuah papan penunjuk arah berukuran kecil bertuliskan ‘Ke Sulasih’ sekilas tertangkap bias cahaya lampu senter yang mereka bawa.

Meski belum genap pukul sembilan, namun suasana malam di tengah belantara perkebunan karet milik PTPN 13 Danau Salak terasa begitu sunyi. Rindang dedaunan pohon bergetah kental itu, menahan cahaya bulan yang baru sabit. Nyanyian binatang malam, mengiringi langkah kaki keempatnya menyingkap kesunyian di antara pepohonan kareet berukuran cukup besar tumbuh teratur dalam barisan. Suara beluk (burung hantu) sesekali terdengar menambah suasana kian mencekam, terkadang membuat bulu kuduk merinding.

Sekitar dua puluh menit berjalan kaki, tak ada percakapan di antara mereka. Sepertinya, semua telah terencana matang. Tak berapa lama menapak di jalur setapak, mereka tiba di tempat yang dituju. Sebuah kubah atau lebih tepat di sebut gubuk di tengah tengah perkebunan, berukuran sekitar 3×3 meter. Di sekeliling kubah, kain kuning membentang. Bentangan kain kuning, bak dinding penutup kubah beratapkan seng itu. Bentangan kain kuning sekaligus menegaskan, tempat itu dikeramatkan.

Tepat di tengah-tengah kubah, sebuah batu berwarna putih kecoklatan berbentuk pipih, menyembul di permukaan tanah dengan posisi miring. Di atas dan sekeliling batu, bertaburan bunga. Ada juga rangkaian bunga pada pelepah pisang yang diletakkan. Bau harum yang masih tercium, menadakan bunga-bunga itu belum lama diletakkan dan ditaburkan.

Sesampainya di Sulasih, lampu senter yang semula menjadi satu-satunya sumber cahaya mereka matikan. Pekat kian tak tertembus mata. Hanya samar-samar cahaya bulan yang terelihat menerobos di antara celah-celah dedaunan. Sesaat setelah senter dimatikan, mereka berempat kemudian duduk bersila mengelilingi batu. Mereka bertawasul dengan membaca ayat-ayat Al Quran. Tujuannya, ada benda pusaka yang terangkat dari alam sebelah.

Sesaat kemudian, suasana terasa begitu sunyi. Hanya suara ‘mantra’ yang mereka baca, terdengar lirih di antara binatang malam yang masih saja melantunkan nyanyian-nyanyiannya. Cukup lama mereka duduk bersila dengan mulut komat kamit, dan mata terbuka. Namun masih belum ada tanda-tanda atau hal aneh terjadi. Hingga kemudian, tiba-tiba terdengar suara benda jatuh tak jauh dari mereka bertawasul mengelilingi batu. Seperti seseorang yang sengaja melempari mereka dengan batu dan kerikil. Namun tak ada siapa-siapa di sana kecuali mereka berempat.

Kejadian itu sempat membuat konsentrasi Ponidi sempat buyar. Bulu kuduknya tiba-tiba merinding. Ia bahkan sempat menghentikan bacaan-bacaan. Namun mengetahui itu salah satu godaannya, Ponidi menguatkan diri dan kembali melanjutkan bacaan-bacaan bersama yang lain.

Cukup lama mereka bertawsul dengan terus membacakan ayat-ayat Al Quran. Namun belum ada tanda-tanda akan ada sesuatu yang mereka dapat dari tawsul yang mereka lakukan kecuali dilempari batu tanpa tahu siapa yang melemparnya itu. Malam mendekati larut, saat mereka berniat memutuskan berhenti bertawasul, tiba-tiba dari atas kubah ada sesuatu yang bersinar.

Dari atas kubah, sinar itu perlahan turun di atas batu , tepat di hadapan mereka berempat. Mengetahui ada benda gaib yang datang, bacaan-bacaan khusus untuk amalan bertawasul mengangkat benda-benda gaib mereka baca tanpa jeda. “Bersamaan turunnya cahaya yang menyilaukan itu, saya melihat kelebatan yang nampak seperti jubah berwarna putih terang,” kata Ponidi ditemui belum lama tadi.

Di atas batu, cahaya dari benda sebesar kelereng itu semakin menyilaukan mata. Cahaya itu melayang di atas batu. Tak lama kemudian, cahaya lain yang tak kalah menyilaukan keluar dari dalam tanah tepat di bawah batu. Di antara mereka berempat, Amat yang berada paling dekat dengan kemunculan cahaya itu. Dengan kedua tangannya, Amat berusaha meraihnya.

Namun seperti ada yang menahan kuat kedua tangannya. Amat tak berdaya. Seperti yang lainnya, ia hanya bisa melihat cahaya itu melayang-layang di hadapannya.

“Sepertinya berbentuk batu, mungkin juga intan. Tapi mungkin belum jodohnya jadi tidak bisa didapat. Di Sulasih memang banyak benda-benda pusaka. Ada juga yang sengaja diberikan pemiliknya dari alam sebelah. Bentuknya macam, ada keris, batu, bangsal, dan banyak lagi,” kata Agus yang juga diamini Amat.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *